Jakarta, 20 Desember 2024 – Pameran lukisan tunggal karya seniman Yos Suprapto yang bertajuk Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan, yang dijadwalkan dibuka pada Kamis (19/12) malam di Galeri Nasional, Jakarta, batal diselenggarakan. Pembukaan pameran yang telah dipersiapkan selama setahun ini mendapat hambatan yang cukup mengejutkan, di mana para pengunjung yang hadir dilarang untuk melihat karya-karya yang telah disiapkan. Penyebab utama pembatalan ini berkaitan dengan permintaan pihak kurator, Suwarno Wisetrotomo, untuk menurunkan lima dari total 30 lukisan yang dipajang.
Kontroversi Pembatalan Lukisan
Yos Suprapto mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan kurator yang meminta lima lukisan yang berkaitan dengan sosok yang pernah populer di Indonesia untuk diturunkan. Menurutnya, lukisan-lukisan tersebut adalah bagian penting dari narasi tema pameran yang mengangkat isu kedaulatan pangan, yang merupakan inti dari karyanya.
“Beberapa jam sebelum pameran dibuka, lima lukisan itu diminta untuk diturunkan. Padahal, lukisan-lukisan itu sangat relevan dengan narasi yang ingin saya sampaikan. Tanpa lukisan-lukisan tersebut, tema pameran jadi tidak utuh,” ujar Yos Suprapto dalam wawancara dengan Jagapost.co.id pada Jumat (20/12).
Meski sempat merelakan dua lukisan ditutup dengan kain hitam agar pameran tetap berjalan, Yos akhirnya memutuskan untuk menolak semua permintaan tersebut setelah kurator meminta tiga lukisan lainnya juga diturunkan. “Saya sudah memutuskan, kalau kelima lukisan itu diturunkan, saya akan membatalkan seluruh pameran ini dan membawa lukisan-lukisan saya pulang ke Yogyakarta,” tegas Yos.
Tuduhan Terhadap Kurator: Ketakutan Politik
Seniman yang telah lama dikenal dengan karya-karya penuh pesan sosial dan politik ini, menilai ada ketakutan yang berlebihan terhadap kemungkinan dampak politik dari karya seni tersebut. “Kurator tampaknya takut terhadap politik praktis dan kemungkinan adanya tindakan represif dari pemerintah. Bahkan, Menteri Kebudayaan yang dijadwalkan hadir pun belum melihat lukisan-lukisan saya,” ujar Yos, mengungkapkan ketidakpuasannya dengan keputusan tersebut.
Yos menambahkan bahwa ia sudah tidak ingin berurusan lagi dengan Galeri Nasional maupun Kementerian Kebudayaan. Menurutnya, kebijakan yang diambil oleh pihak galeri menunjukkan adanya keterbatasan dalam kebebasan berekspresi dalam seni. “Saya sudah tidak ingin lagi terlibat dalam pameran yang dikendalikan oleh ketakutan seperti ini,” ujarnya.
Setelah pembatalan ini, Yos mengungkapkan bahwa ia ditawarkan untuk memindahkan pamerannya ke Gedung Kesenian Jakarta, sebelum akhirnya membawa lukisan-lukisan itu pulang ke Yogyakarta.
Pendapat Budayawan dan Pengamat Seni
Peristiwa ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan, termasuk budayawan dan pengamat seni. Budayawan Erros Djarot, yang sebelumnya dijadwalkan untuk membuka acara tersebut, menilai bahwa tindakan kurator yang menurunkan lukisan-lukisan itu adalah bentuk ketakutan yang berlebihan. “Ini adalah sebuah ekspresi dari ketakutan yang tidak perlu. Pameran seni seharusnya bisa menjadi ruang untuk kebebasan berekspresi, bukan malah dibatasi dengan rasa takut,” ujar Erros dalam pernyataan tertulisnya.
Sementara itu, fotografer profesional dan pengamat seni Oscar Motulloh menilai bahwa pembatalan pameran ini merupakan bentuk pembredelan terhadap kebebasan seni di Indonesia. “Ini adalah pembredelan pameran seni rupa pertama di era Prabowo Subianto. Sebuah langkah mundur dalam kebebasan berkreasi yang harusnya dijaga,” tegas Oscar.
Tantangan Bagi Kebebasan Berpendapat dalam Seni
Pembatalan pameran ini menciptakan polemik mengenai kebebasan seni dan batasan-batasan yang ada dalam dunia seni rupa di Indonesia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa seni harusnya menjadi medium untuk menyampaikan pesan, termasuk kritik sosial dan politik, tanpa dibatasi oleh ketakutan terhadap pemerintah atau pihak berwenang.
Di sisi lain, keputusan kurator yang meminta pengurangan beberapa lukisan dianggap sebagai cerminan dari ketidakberanian untuk menyampaikan kebenaran atau isu-isu yang mungkin dianggap sensitif oleh kalangan tertentu. Ketakutan ini juga semakin terlihat dalam konteks situasi politik Indonesia yang dinilai semakin represif terhadap kebebasan berekspresi.
Kesimpulan: Kebebasan Bereksperimen dalam Seni yang Terancam?
Pembatalan pameran Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan menjadi sebuah sinyal akan adanya ketegangan antara kebebasan berekspresi dalam seni dan kekhawatiran terhadap kontrol politik yang semakin ketat. Sebagai seni yang seharusnya bebas, pameran ini menggugah pertanyaan penting tentang ruang bagi karya seni yang mengkritik keadaan sosial dan politik di Indonesia. Jika kebebasan seni terus dibatasi seperti ini, maka pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah seni di Indonesia masih dapat berkembang dengan jujur dan tanpa tekanan?
Leave a Reply